selamat datang di blog kami

Selamat datang di blog kami

Jumat, 21 Januari 2011

Sejarah Politik: Civil Society sebagai Tatanan Politik



Anda mungkin tidak asing dengan istilah civil society. Di tengah bangsa Indonesia yang sering dilanda konflik, baik antarsuku, agama, maupun kelompok politik, keinginan untuk membangun civil society semakin meningkat. Konsep mengenai civil society dapat ditelusuri dalam sejarah bangsa-bangsa Eropa.
Semenjak abad pertengahan, sistem politik di Eropa tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan Raja dan Gereja.  Sistem tersebut (yang memberikan kekuasaan mutlak pada raja) biasanya kita kenal dengan sistem feodal. Kekuasaannya sangat luas, oleh karena itu, raja menempatkan pimpinan militer di setiap wilayah kekuasaannya.
Menjelang meningkatnya sistem perdagangan jarak jauh di Eropa, para pedagang tentu memerlukan tempat baik untuk berdagang maupun sebagai tempat tinggal. Misalnya kaum pedagang dari Britanica yang jauh berdagang ke Prancis tentu tidak bisa pulang kembali dalam waktu cepat.
Jarak yang sangat jauh dan alasan laku atau tidaknya barang yang didagangkan menjadi alasan kenapa mereka harus menempat di lingkungan baru. Akhirnya para pedagang juga para tukang (pengrajin) sepakat untuk tinggal bersama dalam sebuah tempat yang disebut Burg atau kota benteng. Burg di abad ke-15 sudah seperti kota metropolis.
Orang-orang yang tinggal di sana datang dari berbagai tempat jauh dengan budaya dan latar belakang lainnya yang beragam. Orang-orang yang tinggal di dalam kota benteng tersebut dinamakan Burger.
Karena kondisi kota benteng sangat plural, maka secara alamiah konflik kapan pun bisa terjadi. Untuk mengatasi persoalan ini, maka para burger melakukan kesepakatan berkaitan dengan hak dan kewajiaban mereka sebagai warga dengan membentuk peraturan (semacam undang-undang, civil code atau civil duty).
Peraturan yang disusun oleh para burger itu dalam sejarah dikelan dengan sebutan Burgerlich atau lebih lengkapnya Burgerlich Gesellschaft. Nah, istilah dalam bahasa Jerman ini sering ditranslet ke bahasa Inggris menjadi "Civil Society". Setiap orang yang hidup di dalam kota benteng dilindungi hak serta dituntut kewajibannya berdasarkan aturan bersama itu. Prinsip yang ingin dibangun oleh mereka adalah kesetaraan (egaliter).
Kota-kota dulu di eropa yang terbentuk sebagai kota benteng misalnya Florence, Milan, Valencia, Hamburg, Luxemburg, atau St. Petersburg.
Sistem kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi setiap penduduk ini pada akhirnya menciptakan tempat-tempat di mana mereka dapat berkumpul untuk berkomunikasi, diskusi, maupun bercanda gurau. Tempat seperti ini kemudian dinamakan ruang publik (Public Sphere-Inggris, Offentlichkeit-Jerman).
Setiap persoalan yang menyangkut kepentingan bersama dimusyawarahakan secara adil dan terbuka. Istilah untuk kegiatan ini berasal dari bahasa Latin “deliberatio” yang artinya konsultasi atau menimbang-nimbang. Deliberasi ini dalam istilah bahasa Indonesia sering disebut “musyawarah untuk mufakat”.
Komitmen Politik
Untuk dapat mewujudkan masyarakat yang berlandaskan semangat civil society, mereka mesti berkomitmen secara kuat. Komitmen dalam hidup bersama, bernegara dan berbangsa tidak lain diikat oleh ikatan politik. Jadi apa pun latar belakang Anda, golongan, suku, agama, maupun ras harus dapat melangkah kepada kelompok atau ruang yang lebih besar, yakni negara.
Hidup bernegara adalah hidup dalam lingkup politik. Politik lah pada dasaranya yang akan membawa masyarakat ini kepada tujuan-tujuan yang telah disepakati. Sebagai warga Negara, tiap individu diposisikan sebagai individu dalam sistem politik. Bahkan Jurgen Habermas (filsuf Jerman) mengatakan; sekiranya ada satu negara yang dihuni oleh mayoritas suatu agama, mereka akan melihat diri mereka sebagai warga negara bila mereka hendak hidup secara politis di dunia ini. Intinya mereka bukan “warga agama”.
Ia melihat bahwa pluralitas secara sosiologis adalah kemampuan untuk menghubungkan secara normatif individu-individu beserta kepentingannya ke dalam suatu kelompok yang lebih besar.
Prinsip pluralitas yang menghargai opini publik, membuka partisipasi publik seluas-luasnya, dan menghargai ekpresi publik muncul bukan karena individu berasal dari satau kelompok yang berbeda, tetapi karena ia diakui sepenuhnya sebagai bagian dari warga negara yang dilindungi secara hukum.  
Pada akhirnya, bentuk tatanan masyarakat civil society dengan deliberation-nya dijadikan sebagai landasan hidup dalam lingkup politik yang dikenal dengan sebutan demokrasi. Ditinjau dari selintas sejarah politik di atas, maka demokrasi bisa menjadi semacam obat bagi masyarakat yang punya penyakit konflik kronis, yang biasanya muncul dalam tubuh yang plural.
Obat ini akan semakin bekerja khasiatnya jika si tubuh menyadari bahwa dirinya hidup dalam lingkungan yang bhineka (heterogen), serta tidak anti terhadap suntikan-suntikan multikulturalisme.


copas dari: